Siapa yang tidak tahu tentang
Manchester United, sebuah klub tersukses se-antero Inggris? Klub ini berhasil
meraih 20 trofi Liga Inggris, 3 trofi Liga Champions, dan terkenal karena
mental juara para pemainnya. Semua pemain sepakbola pasti ingin menjadi bagian
dari klub ini, sama seperti aku. Mimpi itu memang seakan mustahil, tapi mimpiku
untuk menjadi pemain Manchester United tidak pernah padam.
Sepak bola menjadi kegiatan rutinku bersama anak-anak
tetangga. Setiap sore setelah kami membantu orangtua masing-masing, kami pasti
bermain sepak bola di lapangan kampung kami. Aku senang bermain bersama mereka.
Ada Bobby yang akurasinya bagus, Handoyo yang tangkapannya jago, dan Jaka yang
lihai mengolah bola. Teman-temanku bilang bahwa aku memiliki ketepatan umpan
yang bagus, tetapi aku tidak merasa seperti itu.
Pak RT yang setiap hari menonton kami bermain, akhirnya
mendirikan klub kecil di kampung kami. Walau klub ini hanya klub amatir, semua
anak senang, karena impian mereka menjadi pesepakbola profesional bisa
terwujud. Latihan yang diberikan oleh Pak Hadi, pelatih kami, memang berat,
tetapi semua anggota menekuni latihan dengan sungguh-sungguh.
Pak RT memutuskan untuk menyertakan kami dalam seleksi kejuaraan
nasional. Tim kami termasuk dalam 8 klub yang akan memperebutkan satu tiket
nasional. “Oke, semuanya ayo ke sini!” seru Pak Hadi. “Bapak akan mengumumkan
pemain yang akan bertanding hari Minggu nanti.” Aku menjadi sangat gugup. “Oke,
Bapak akan panggil. Handoyo, Lukas, Asep, Ari, Gabriel, Jaka, Rudy, Wido,
Yusuf, Bobby, dan Firman. Buat yang belum dipanggil, tetap semangat ya! Jangan
lupa datang hari Minggu nanti!” kata Pak Hadi.
Bobby mengacungkan tangannya. “Pak, kenapa Ruben tidak
main? Padahal dia bagus kok, Pak,” katanya.
“Maaf, Bapak rasa Ruben belum mampu bermain baik, jadi
untuk kali ini Bapak tidak memainkannya,” jawab Pak Hadi.
Aku shock.
Teman-temanku sedikit memprotes keputusan Pak Hadi, tetapi kusuruh mereka diam
saja. Mungkin memang aku belum baik. Ini pertanda aku harus berlatih lebih giat
lagi.
Hari demi hari, aku terus berlatih dengan sungguh-sungguh.
Aku berlari mengitari kampung setiap pagi. Semua latihan kulahap habis, bahkan
sampai ibuku khawatir dengan tindakanku yang menurutnya sangat berlebihan. Tetapi, asalkan aku dapat bermain di pertandingan berikutnya, itu tidak masalah buatku.
Akan tetapi, namaku kembali tidak ada di daftar pemain pada
pertandingan kedua. Teman-temanku memprotes keras keputusan Pak Hadi, sampai
hampir terjadi perkelahian antara Pak Hadi dan Handoyo. Kulerai mereka, dan
kukatakan aku tetap mendukung keputusan pelatih
Dalam perjalanan pulang, teman-temanku memberikanku semangat
untuk terus berlatih. Aku merasa sedikit lebih baik dengan dukungan mereka.
Saat aku tiba di rumah, aku langsung mengunci diri di kamar, mengabaikan
orangtuaku yang sedang duduk di ruang tamu. Aku shock, sedih, putus asa. Mungkin Tuhan tidak mengizinkanku untuk
menjadi pemain sepak bola. Timbul pikiran untuk mundur dari sepak bola.
“Nak, kamu gagal lagi?” tanya ibuku sambil mengetuk pintu
kamarku. Aku tidak menjawab pertanyaannya.
“Dengarkan ayah. Ayah mendukungmu untuk memilih apapun yang
kamu senangi, asalkan itu baik bagimu. Tapi, ayah sangat membenci dengan kata
menyerah. Tidak dimainkan dalam dua pertandingan saja sudah membuatmu begini,
bagaimana bisa menjadi pemain United?” katanya. Aku terhenyak. Aku lupa dengan
impianku untuk menjadi pemain Manchester United dan bermain di tanah Inggris. Jika
James Wilson yang berusia 2 tahun lebih tua dariku bisa sudah mencicipi
debutnya di sana, mengapa aku tidak bisa? Kubuka pintu kamarku dan tampaklah
dua orang yang selalu mendukungku. “Kami yakin, kau bisa bermain di
pertandingan berikutnya,” kata ibuku sambil memelukku.
Tiga hari setelah pertandingan, aku dikejutkan dengan
kedatangan Pak Hadi ke rumahku. “Ruben, bapak minta maaf. Sebenarnya, kamu
lebih berkualitas daripada si Rudy. Tapi bapak tidak sanggup untuk menolak uang
yang diberikan oleh orangtua Rudy, Bapak benar-benar membutuhkan uang itu. Uang
itu sudah bapak kembalikan, bapak benar-benar merasa bersalah sama kamu.
Sebagai permintaan maaf, bapak akan memainkan kamu di pertandingan berikutnya,”
katanya.
Pertandingan ketiga ini merupakan pertandingan final, yang
mempertemukan kami dengan tim terkuat yang juga merupakan juara bertahan,
Warrior FC. Pertandingan berjalan sangat ketat. Kedudukan masih 0-0 pada menit
ke-80. Serangan yang dibangun oleh Jaka, Bobby, dan aku masih belum mampu
menembus pertahanan mereka. Serangan balik mereka bahkan membahayakan kami.
Untungnya, Handoyo berhasil mengamankan bola. Handoyo memberikan bola kepada
Asep, yang langsung dibawanya maju ke depan. Ia mengoperkannya kepadaku, lalu
kuberikan long pass kepada Jaka yang
bebas. Dengan gocekannya, ia berhasil mengelabui dua orang pemain lawan. Jaka
kembali memberikanku bola. Kukelabui lawan dengan teknik flick andalanku, dan langsung kuoper kepada Bobby. Sayangnya,
tembakannya masih mengenai tiang.
Memasuki menit ke-88, kedua tim menjalankan serangan secara
bergantian. Tiga orang pemain lawan mengawalku dengan ketat, karena aku adalah
otak serangan tim kami. Taktik mereka mampu menghentikan pola serangan tim
kami. Aku harus segera mendapatkan bolanya. Aku berlari ke daerah kosong, dan
mereka semua mengikutiku. Kuberikan sebuah kode pada Wido yang sedang menguasai
bola, dan ia paham. Dengan cepat ia mengoper bola pada Jaka, yang langsung
diteruskan kepadaku. Pemain lawan terkecoh, mereka mengira Jaka akan membawa
bolanya maju sendirian. Aku berhasil lolos dari kawalan. Kuterima bola itu dan
kuberikan pada Bobby. Bek lawan terakhir segera menerjang Bobby, akan tetapi,
ia memberikan bola itu kepadaku dan aku langsung menembaknya. Gol! Tim kami
berhasil menjadi pemenang di menit-menit terakhir dan kami berhasil menyabet
tiket nasional.
Perjalanan kami di kejuaraan
nasional juga terbilang tak mudah. Lawan-lawan yang kami hadapi benar-benar
sangat kuat. Kami beruntung mendapatkan tiket semi-final setelah merebut posisi
kedua dalam penyisihan grup setelah menang agregat. Pada saat pertandingan
semi-final, kami bahkan harus menjalani perpanjangan waktu melawan perwakilan
dari Papua. Pertandingan keras itu menyebabkan Jaka cedera sehingga ia tidak
bisa bermain di final.
“Jangan mau kalah! Walau tidak ada
Jaka, kita harus bisa menampilkan penampilan terbaik kita! Sepak bola adalah
permainan tim! Kita harus menangkan pertandingan final ini!” seruku
menyemangati tim. Semangat mereka kembali berkobar. Pak Hadi tersenyum
kepadaku.
Tim lawan sangat mendominasi
pertandingan. Tim kami tidak dibiarkan untuk menguasai bola sekalipun. Aku pun
diberi kawalan yang ketat. Tim lawan berhasil mencetak sebuah gol di babak
pertama. Babak pertama usai sudah. Teman-temanku sedikit kecewa dengan performa
mereka. Aku dan Pak Hadi kembali menyalakan semangat mereka.
Babak kedua, permainan kami mulai
terlihat. Tim lawan kesulitan mengantisipasi umpan-umpan pendek kami. Akan
tetapi, setiap tembakan dapat dimentahkan oleh kiper lawan dengan mudah.
Memasuki menit ke 89, Firman
menembakkan sebuah tendangan keras yang tidak mampu ditangkap sempurna oleh
kiper lawan. Yusuf yang tidak terkawal segera menembakkan bolanya. Akan tetapi,
kiper lawan bereaksi cepat sehingga bola memantul kepadaku. Dua orang bek lawan
segera menutup pergerakanku. Kuoperkan bola kepada Wido yang berada di
belakangku. Aku segera menerobos pertahanan mereka dan Wido langsung memberikan
sebuah umpan akurat. Aku berhasil mencetak sebuah gol penyeimbang kedudukan.
Wasit memberikan waktu tambahan 3
menit. Pertandingan semakin panas dan keras. Tim kami berhasil mendominasi
permainan dan tim lawan cenderung bertahan total. Dua tembakan yang dilepaskan
olehku masih belum mengenai sasaran. Bobby menembak, akan tetapi tembakannya
mengenai pemain lawan sehingga menjadi corner
kick. Yusuf, yang menjadi eksekutornya, memberikan bola kepada Bobby. Bobby
tidak mampu menyundulnya. Kusambut umpan Yusuf dengan tendangan voli yang tidak
mampu dihalau oleh kiper lawan. Skor berubah menjadi 2-1 untuk tim kami. Peluit
panjang berbunyi. Gelombang kegembiraan meledak pada tim kami. Aku diangkat dan
dilemparkan ke udara. Kami sangat bahagia dengan keberhasilan ini.
Aku terpilih menjadi pemain terbaik.
Ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagiku. Orangtuaku yang menyaksikanku di
tribun penonton tersenyum kepadaku. Aku senang aku bisa membuat mereka bangga
kepadaku.
Besoknya, aku dikejutkan oleh scout dari Manchester United yang datang
ke rumahku. Mereka menawariku kontrak untuk masuk ke akademi Manchester United
di Inggris. Mereka tertarik dengan bakatku selama bermain di kejuaraan
nasional. Aku memutuskan untuk bergabung bersama mereka.
Impianku untuk bermain di Manchester United sudah terwujud,
meskipun aku masih bermain di tim U-17. Namun, aku harus terus mengembangkan
bakatku sehingga aku bisa masuk ke tim utama dan bermain bersama pemain-pemain
mereka yang hebat, seperti Wayne Rooney atau Juan Mata.
3 comments:
Post a Comment
If you have questions, responses, or requests, feel free to write it down. :)