“Kenapa harus di sana?” tanyaku.
“Masa kakak gak tau sih? Di sana kan
ada Big Ben, Trafalgar Square, pokoknya banyak banget yang bagus
lho, Kak. Aku lihat di internet!” katanya sambil menunjukkan tabletnya padaku. Ia benar-benar ingin
sekali ke sana. Aku memaklumi perilakunya, karena adikku selalu berada di kamar
karena penyakit yang dideritanya sejak kecil. Ia tidak boleh terlalu aktif dan
selalu mendapat pengawasan khusus dari dokter.
“Kamu suka sekali sama London, ya?”
tanyaku sambil membelai rambutnya. Ia mengangguk. “Baiklah, kakak, akan bawa
kamu pergi ke sana,” kataku dengan percaya diri.
“Benar, Kak?” tanyanya? Aku
tersenyum dan mengangguk kepadanya. Ia langsung memelukku.
Keluar dari kamarnya, keringat
dingin langsung mengalir padaku. Dari mana aku bisa mendapatkan uang pergi ke
sana? Aku baru saja lulus kuliah dan aku tidak mungkin meminta uang dari
orangtuaku, karena mereka selalu bekerja untuk menutupi biaya adikku. Aku
menelepon Ryan, temanku, yang orangtuanya punya perusahaan mebel.
“Halo, Ryan. Orangtuamu punya
kerjaan, gak?” tanyaku.
“Wah, gue gak tahu. Emangnya kenapa
sih?” ujarnya.
“Begini, aku udah janji sama adikku
jalan-jalan ke London,” jawabku.
“Gila lo! Tiketnya aja udah 15
jutaan, belum lagi jalan-jalannya!” katanya.
“Makanya, aku minta tolong, ada
kerjaan gak?” tanyaku.
“Ya udah deh. Cuma bokap gue baru
pulang seminggu nanti nih, gak masalah?” jawabnya.
“Gak bisa kamu telepon aja?”
tanyaku.
“Mana bisa, lo tau kebiasaan bokap gue
kalo udah ambil liburan. No handphone, kembali ke jaman purba,”
Kuambil keputusan untuk mengambil
pekerjaan part-time. Menjadi tukang parkir,
menjadi pelayan restoran cepat saji, menjadi pemain band café, online shop, dan
banyak pekerjaan yang kuambil untuk menambah tabunganku. Akan tetapi, masih
belum cukup juga. Berbagai perlombaan juga kuikuti. Mulai dari kompetisi band,
lomba abang-none, lomba makan kerupuk, dan sebagainya. Seluruh penghasilan ini
ditambah tabunganku, masih terbilang kurang. Akan tetapi, aku tidak mau
menyerah. Aku tidak ingin adikku menangis karena janji yang kami buat
kubatalkan begitu saja.
Seminggu kemudian, bapaknya Ryan
setuju untuk merekrutku. Gaji yang ditawarkan sangat besar, lumayan untuk menutup
biayaku. Bekerja di perusahaannya memang sangat berat, tekanan dan tanggung
jawab yang diberikan lebih tinggi daripada pekerjaan yang pernah kujalani
selama ini. Banyak ejekan dari klienku yang diarahkan padaku. Hal ini membuatku
stres dan hampir menyerah. Tetapi berkat foto adikku, aku teringat akan janji
itu dan bekerja dengan sepenuh hati.
Sudah sekitar enam bulan sejak aku
bekerja di perusahaan itu, tetapi masih belum mampu menutup seluruh biayaku.
Aku tidak ingin membuat adikku menunggu lebih lama lagi.
“Bro, kenapa lu gak pinjam duit aja?”
kata Ryan.
Aku menggeleng. “Gak ada gregetnya.
Lagian juga kalau aku nggak bisa kembaliin duitnya, nanti jadi repot,” kataku.
Aku menemui adikku. Di dalam
pikiranku mulai timbul lagi untuk membatalkan janjiku. Adikku sangat senang
dengan kedatanganku.
“Wah, kakak datang! Yeeey!” katanya. Melihat semangatnya, aku
tidak sampai hati untuk mengatakannya. “Kita jadi ke London, kan?” tanyanya.
“Tentu saja,” jawabku. Adikku benar-benar senang.
“Nak, ayah pingin bicara sama kamu,” kata ayahku. Aku
mengikutinya ke ruang tamu. “Rose cerita kalau kamu akan mengajaknya ke London.
Itu benar?” tanyanya. Aku mengangguk. “Udah cukup duitnya?” tanya ayahku lagi.
“Belum. Aku udah kerja banyak selama enam bulan ini, dan
masih kurang buat ke London,” jawabku.
“Ayah juga udah kerja, ini uang buat kamu. Terima kasih
kamu sudah mau menyenangkan Rose,” kata ayahku sambil menyerahkan sebuah
amplop.
“Ah, gak usah,” kataku sedikit menolak.
“Kamu tidak boleh sombong. Ayah juga ingin membahagiakan
Rose, tetapi inilah yang bisa ayah lakukan sejauh ini,” kata ayahku. Aku
memeluknya sambil berterima kasih kepadanya.
“London, London, Londooonn,” kata Rose. Kata-kata itu yang selalu
diucapkannya sejak dari bandara Soekarno-Hatta. Ia sangat senang bahwa mimpinya
sudah berhasil kukabulkan. Setelah mendarat di Bandara Heathrow, Rose tidak
sabar untuk segera pergi berjalan-jalan. Setelah check-in dan menaruh bawaan kami, kubawa ia berjalan-jalan ke
berbagai tempat. Kami berfoto-foto di Big Ben, berjalan-jalan di Trafalgar
Square, menikmati indahnya bunga di Queen Mary’s Garden dan mengunjungi Buckingham
Palace. Tujuan terakhir kami untuk hari ini adalah London Eye, sebuah bianglala
raksasa yang terletak di Sungai Thames.
“Rose, lihat, kita bisa London dari sini, lho!” seruku.
“Wah, benar juga! Bagus banget yah, Kak,” ujar Rose. Ia
menaruh kepalanya di lenganku. “Kak, terima kasih ya, udah bikin impian Rose
jadi kenyataan,” katanya.
Aku tersenyum. Akhirnya Rose tertidur. Wajahnya menunjukkan
senyum kebahagiaan. Aku juga bahagia dan aku tidak sabar untuk melanjutkan
petualangan kami di London besok.
No comments:
Post a Comment
If you have questions, responses, or requests, feel free to write it down. :)